oleh : Iip Muhamad Arif (Komunitas Pengguna dan Pelestari bahasa Jawa Banten)
Sekarang ini banyak anak-anak muda merasa malu untuk menggunakan bahasa Jawa Banten. Rasa malu bagi anak-anak muda tersebut bukan tanpa sebab, disamping mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia (apalagi yang mereka sebut bahasa gaul) penyebab lainnya adalah para orang tua kita juga sudah mulai meninggalkan bahasa`leluhurnya. padahal kita tahu bahasa leluhur yang disebut bahasa Jawa itu adalah bentuk hasil kebudayaan yang harusnya dilestarikan agar bahasa Jawa tidak punah dan hanya menjadi sebuah dongeng di masa yang akan datang.
Di Kota Serang yang terbentuk dari enam kecamatan yaitu, Kec. Serang, Taktakan, Kasemen, Walantaka, Cipocok Jaya dan Curug pada umumnya penduduk aslinya berbahasa Jawa banten (baca : Serang), namun kenyataannya bahasa Jawa sudah tidak eksis dan mulai ditinggalkan penuturnya.
Mengenai bebasan yang merupakan bahasa Jawa bentuk halus sudah seharusnya dilestarikan dalam bentuk percakapan sehari-hari baik oleh kaum muda dan teman-temanya, para orang tua dan masyarakat umumnya. mengapa harus digunakan? karena bahasa Jawa Bebasan sangat berperan strategis untuk meminimalisir dekadensi moral anak-anak muda kita. tidak ada anak muda yang jika berbicara dengan para orang tua dengan menggunakan bebasan dengan nada tinggi, atau untuk melawan pembicaraan orang tua. dengan sendirinya tabiat dan akhlak anak pun akan semakin baik dan halus. penulis masih sering menyaksikan tatkala terdapat percakapan seorang ustad dengan anaknya, begitu akrab dan tidak terlihat sungkan antara anak dan orang tua. anak-anak begitu santun meladeni setiap pertanyaan orang tuanya. sungguh sangat indah hidup ini jika semua percakapan dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa bebasan.
contoh:
Ortu : nong tulung mriki krihin, tumbasaken kedaharan gih....
anak : gih bah.... pinten?
ortu : limang ewu saos, kin toroganane bakta gih...
anak : gih bah... (berangkat ke warung)
ortu : nong... lambat amat tumbase...
anak : gih bah.... wong ning warunge katah sing tumbas...
ortu : oh... gih sih boten napa-napa... toroge pundi?
anak : niki bah... kulane enda gih...
ortu : gih sih... pinten?
anak : sewu saos...
begitulah cuplikan percakapan antara orang tua dan anaknya dalam peristiwa membeli makanan di sebuah warung. nah... seandainya kita semua melakukan percakapan seperti itu, kita tidak akan menemukan sebuah pertengkaran baik dalam skup kecil maupun besar.
pertanyaan selanjutnya bagaimana bisa melakukan seperti itu, jika kita tidak bisa atau tidak memahami bahasa Jawa bebasan. kembali ke awal kita tidak boleh malu atau gengsi untuk emmulainya, kita perlu berani memulai dari diri kita sendiri dalam pergaulan sehari-hari.
ingat orang tua pun tidak boleh arogan dengan menggunakan bahasa yang terkesan kasar, emntang-mentang sedang berbicara dengan anak atau orang yang lebih muda. justru orang tua adalah panutan dan tauladan yang dapat di contoh oleh anak-anak muda. bukanlah pembelajaran yang baik adalah dengan memberi contoh yang baik pula? wallahualam bishowab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar