Anak Menjadi Nakal Kenapa????
Nama ku
Achmad Sufanto
18.35
Belakangan ini mulai santer kabar yang mengejutkan bahwa di beberapa daerah di tanah air kita muncul kasus mengerikan, yakni kasus perkosaan terhadap anak-anak berusia 5-10 tahunan. Yang mengagetkan, para pelakunya adalah anak-anak pula, usia mereka rata-rata 10-15 tahun.
Ya...
Dapat dikatakan sebagai kasus perkosaan anak-anak oleh anak-anak. Sungguh suatu peristiwa yang mengerikan.
Memang tragis. Meskipun mungkin kasus tersebut sebagai kasus lokal dan belum seberapa, namun bagi kita tentu sangat menggelisahkan.
Betapa tidak...?
Dari segi moral Islam jelas hal tersebut memprihatinkan. Sedangkan dari segi akibat, jika saja nanti kasus tersebut merambat menjadi peristiwa umum yang meluas, maka umat Islam tentunya paling terpukul. Apalagi kalau diingat bahwa mereka itu adalah tunas-tunas umat di masa yang akan datang, apa jadinya mereka kelak...?
Karena itu, sebelum masalah ini menjadi serius dikalangan anak-anak, kita sebagai umat Islam harus bertindak. Khususnya para orang tua, pendidik, juru dakwah dan tokoh-tokoh umat.
Kita mulai bertanya, mengapa ini terjadi dan siapa semestinya yang bertanggung jawab...?
Bagaimana sikap kita menghadapi kasus moral anak-anak tersebut...?
Jika kita cermati, sebenarnya kenakalan moral anak-anak tersebut dapat dikatakan sebagai hal yang logis, artinya bahwa perkembangan situasi yang ada memang memberi peluang terhadap masalah tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dewasa ini banyak sarana dan media yang dapat memberi dan menciptakan peluang pada anak-anak untuk berbuat amoral. Disadari atau tidak, film porno, baik lewat video maupun bioskop-bioskop, iklan, reklame-reklame yang cabul, tempat-tempat hiburan dan lokalisasi PSK yang langsung atau tidak langsung banyak diketahui anak-anak.
Herannya, MEDIA TELEVISI banyak menampilkan film, pertunjukkan dan artis-artis yang secara moral dapat dikategorikan tidak layak tonton meskipun ada tulisan untuk 13 tahun atau 17 tahun sebagai batasan, namun siapa yang membatasi ketika anak-anak menonton pertunjukkan semacam itu...?
Dari lingkup keluarga, anak-anak semacam itu biasanya lahir dari keluarga yang retak alias broken, kurang perhatian dan bimbingan serta liar. Hal seperti itu terjadi akibat dari lingkungan keluarga yang mengalami desintegrasi terutama diperkotaan dan tak terkecuali dalam keluarga yang dianggap modern.
Sementara dalam pendidikan, khususnya pendidikan formal, dewasa ini juga terlalu cenderung pada pengembangan kreatifitas dan intelektual. Sedangkan aspek moral, mental dan kerohanian kurang mendapat penekanan yang seimbang. Penekanan terhadap pendidikan semacam ini memang tingkat kecerdasan dan daya kritis anak menjadi berkembang. Namun jiwa dan mental mereka kering dari nilai dan norma yang luhur sehingga kepribadiannya menjadi rapuh dan labil, maka tak heran kalau mereka kemudian mudah terjerumus pada perilaku nakal dan melanggar moral.
Para cendikia dan tokoh masyarakat kini mengakui bahwa nilai-nilai spiritual dalam masyarakat kita mulai digeser oleh nilai-nilai materialisme. Tak heran apabila masyarakat lebih tertarik dan menghargai hal-hal yang bersifat materi, termasuk dalam mewariskan nilai-nilai kepada anak-anak dan generasi mudanya.
Akibatnya...
Timbul gejala sosiopatik atau masyarakat yang sakit. Sementara kontrol sosial masyarakat terhadap setiap kecenderungan yang amoral, penyimpangan sosial dan sebangsanya menjadi lemah. Disinilah maka tidak mengherankan, kalaupun kemudian masyarakat melihat kecenderungan yang menimpa anak-anak dianggap wajar.
Persoalannya sekarang adalah sejauh mana peran dan tanggungjawab para orang tua terhadap situasi semacam itu...?
Akankah dibiarkan penyakit moral tersebut lantas mewabah dan meracuni anak-anak kita...?
Tentunya siapapun termasuk para orang tua tidak akan rela melihat anak-anaknya nanti terjerumus pada kebobrokan akhlak semacam itu. Setiap orang tua memiliki tugas untuk menyelamatkan keluarganya termasuk anak-anak. Disini tentu kita terpanggil oleh perintah Allah swt...
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."[At-Tahrim:6]
Bukankah anak-anak itu merupakan bagian dari keluarga...?
Kewajiban untuk menyelamatkan anak-anak dari bencana dan kerusakan akhlak tidak berhenti sampai disitu, itu berarti sekaligus menyangkut masa depan mereka.
Dalam hal ini, peringatan Allah swt sangat tegas...
"Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak keturunan yang lemah..."[ An-Nisaa : 9 ]
Akankah anak-anak dan keturunan kita nanti dibiarkan menjadi insan yang lemah...?
TENTU TIDAK...!!
Sementara kita tahu bahwa soal akhlak bukan sekedar masalah individual, akan tetapi menyangkut kepentingan suatu umat.
DAN RASULULLAH SAW DIUTUS KE DUNIA INI TIADA LAIN UNTUK MENYEMPURNAKAN AKHLAK MANUSIA
Bagi orang tua berlaku kewajiban bahwa tanggung jawab terhadap anak-anak itu tidak sekedar asal dapat memenuhi kebutuhan fisik, materi dan fasilitas mereka. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kebutuhan pendidikan, rohaniah dan akhlak mereka dapat dipenuhi. Sirami anak-anak itu dengan jiwa keislaman yang tangguh. Didik mereka dengan ibadah yang khusyu. Binalah akhlaknya sehingga menjadi insan yang karimah. Taburi mereka dengan agama yang benar.
Disinilah...
Betapa mulia seorang Luqmanul Hakim dalam mendidik anaknya. Dalam keseharian hidupnya, Luqman selalu menekankan kepada anaknya untuk menepati delapan nilai hidup, yakni jangan menyekutukan Allah, mendirikan shalat, berbuat baik untuk diri sendiri, menyuruh berbuat baik kepada orang lain, mencegah hal yang mungkar, bersabar dalam menghadapi hal atau cobaan yang menimpa, jangan angkuh dan sombong dan agar anaknya sederhana dalam hidup serta bersikap perilaku.
Bagaimana para orang tua muslim?
Sudah cukupkah bila anak-anak kita berkembang fisik dan intelektualnya?
Sudahkah merasa puas bila anak-anak kita sekedar menjadi orang yang nantinya berpangkat, berjabatan dan bergelimang harta?
Sementara dalam saat yang sama jiwa mereka kering dari siraman nilai Islam, jauh dari siraman rahmat, karunia dan nilai-nilai Ilahiah?
Dan sudahkah mereka selesai dari kewajiban apabila orang tua menyerahkan anak-anaknya kepada guru di sekolah atau kepada orang lain untuk mendidiknya?
Padahal kewajiban utama dalam mendidik mereka itu sebenarnya terletak pada pundak orang tua?
Dan tidakkah merasa keliru bila para orang tua selalu menyuruh anak-anaknya supaya les segala macam seperti les musik, teater, rekreasi kursus berbagai bahasa dan segala tetek bengek urusan sekolah, sementara dalam saat yang sama mereka dibiarkan tidak mengaji, tidak shalat dan jauh dari akhlak karimah?
Sungguh...
Bila kekeliruan ini bila terjadi pada keluarga muslim maka beban berat kembali pada orang tua. Sementara si anak menjadi korban yang mesti dibayar mahal dalam kehidupannya. Bila ini terjadi, maka sang anak dan orang tua merugi.
Suatu kerugian abadi yang tak mungkin ditebus kembali dalam sejarah perjalanan anak manusia...!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar